Pada awalnya, Ikan arwana hanyalah jenis ikan ’biasa’. Di daerah asalnya—Sumatera dan Kalimantan—arwana merupakan jenis ikan konsumsi yang sesekali terikut oleh jaring para nelayan setempat. Oleh karena ukuran ikan ini cukup besar dan dagingnya yang lumayan tebal maka agar awet disimpan, nelayan mengolahnya menjadi ikan asin.
Sebagai ikan asin, nasib arwana tidak begitu menggembirakan. Menurut sebagian masyarakat, rasa ikan ini tidak begitu enak. Jadilah arwana hanya menempati kasta kedua dalam tangga urutan ikan-ikan asin. Tidak berbeda jauh dalam kategori ikan pajangan. Mulutnya yang sedemikian lebar dan postur badannya yang begitu besar membuat masyarakat tidak begitu tertarik untuk menjadikannya sebagai ikan hias.
Sebagai ikan asin, nasib arwana tidak begitu menggembirakan. Menurut sebagian masyarakat, rasa ikan ini tidak begitu enak. Jadilah arwana hanya menempati kasta kedua dalam tangga urutan ikan-ikan asin. Tidak berbeda jauh dalam kategori ikan pajangan. Mulutnya yang sedemikian lebar dan postur badannya yang begitu besar membuat masyarakat tidak begitu tertarik untuk menjadikannya sebagai ikan hias.
Sejarah berubah. Bila pada awalnya arwana termasuk jenis ikan tak terperhatikan, hal ini berbalik ketika sebuah organisasi perlindungan satwa— Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)—mengadakan pertemuan di Polandia. Pertemuan itu menghasilkan suatu anjuran agar perdagangan satwa langka dibatasi. Kelanjutan dari gagasan ini adalah dengan ditandatanganinya CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang merupakan sebuah konvensi perdagangan internasional jenis fauna dan flora langka.
Sejak tahun 1969, ikan arwana (Sceleropages formosus) masuk pada Red Data Book Volume IV, dalam kategori Depleted Species (spesies rawan). Oleh karenanya, pada 28 Maret 1979, Indonesia ikut menandatangani CITES.
0 komentar:
Posting Komentar